Minggu, 23 Juni 2013

Mandiri sahabatku


Mandiri sahabatku

Tanggal 23-06-2013 ...akan menjadi sejarah terbaru untuk para BMI HK.
Selamat dan sukses untuk acara penutupan Kelas Dasar dan Kelas Lanjutan Universitas Ciputra Enterpreneurship dengan sponsor utama Bank Mandiri....
Selamat dan sukses juga untuk Wisuda PER Batch 2 Universitas Ciputra Enterpreneurship
Suatu kebanggan yang luar biasa menjadi bagian dari mereka....
BMI jadi pengusaha PASTI BISA.......

*Gedung KITEC Kwoloon Bay...!!!!





Pak Riza Zulkifli-Senior Vice President, Bank Mandiri berada di antara para BEST BOSS pada saat Closing Ceremony Mandiri Sahabatku yang diselenggarakan di Gedung KITEC - Kowloon, Hong Kong. Penutupan MS kali ini dihadiri oleh Bpk Abdul Wahid Maktub-Staf Khusus Menakertrans, Bpk. Perry Tristianto-Pengusaha dari Bandung, Bpk Hari dan Ibu Sendra dari KJRI Hong Kong, undangan lainnya serta dihadiri sekitar 1.250 BMI dari kelas Dasar dan Lanjutan. Salam sukses dan salam entrepreneurship! — bersama riza zulkifli dan 2 lainnya.





Kekompakan bersama temen- temen di PER batch3
Salam kompak dari kami , semoga selalu dalam kedamaian




bapak Teddy ,vitri , mb Rubi , Zaky and me 





Kamis, 20 Juni 2013

Cerita klas mandiri sahabatku bersama mz Dalyono




Pak Dalyono "Mataram Furniture"





KOMPAS.com — Dalyono (30) bikin terenyak peserta diskusi terbatas kewiraswastaan di Balai Soedjatmoko, Solo, Jawa Tengah, akhir tahun 2010. Ia berangkat menjadi wiraswasta dari serba nol: nol modal, nol koneksi, dan nol keterampilan. Tiga tahun setelah jatuh-bangun, usahanya, mebel batik Mataram Furniture, pun berkembang.
"Saya berasal dari keluarga miskin di Desa Kalimundu, Gadingharjo, Bantul, DI Yogyakarta. Ayah saya petani, yutun, tak berpendidikan, tak punya sawah, hanya mengandalkan suruhan orang. Saya tahu mengapa orangtua saya miskin. Mohon maaf karena bodoh."
Kondisi itu menguatkan tekad anak sulung dari dua bersaudara ini. ”Saya harus belajar, tak boleh lelah belajar.” Namun, belajar tanpa biaya? ”Ah, itu omong kosong.”
Jadilah anak pasangan Ngadiman-Boniyem ini sejak SMP belajar dan mencari penghasilan dengan berjualan apa saja. Ketika melanjutkan sekolah di SMA 17 Bantul, ia juga berjualan ayam. Ia bekerja sambil belajar sebab waktu belajar lebih sedikit dari jam kerjanya.
Awalnya, Dalyono tak tahu itulah inti kewirausahaan, kiat dan keterampilan yang kemudian dibicarakan orang terpelajar belakangan ini. ”Tidak mungkin saya menjadi mahasiswa, biaya tak ada. Begitu lulus SMA, saya ke Jakarta. Saya pikir, jadi orang sukses harus ke Jakarta,” kata pria yang ke Jakarta berbekal beras 25 kilogram dan sedikit uang. Ia berjualan ayam di Ibu Kota.
Uangnya habis dalam seminggu. Tak ada tumpangan, ia tidur di kolong jembatan di kawasan Penjaringan. Untuk makan sehari-hari, ia menjadi tukang parkir. Ia hidup terlunta-lunta di Jakarta sekitar tujuh bulan.
Dalyono sempat sakit, tetapi ia menolak kembali ke Yogyakarta. Alasannya, malu karena belum bisa mengirim uang ke kampung. Ia memang tak dibawa ke Bantul, tetapi dimasukkan ke Panti Sosial Bina Remaja di Sleman. Hampir setahun di panti, ia lalu dipekerjakan di bagian menggambar Summer Gallery, perusahaan furnitur.
Berpindah-pindah
Oleh sang bos, Dalyono dianggap tak bisa menggambar. Dia lalu pindah bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain selama kurun lima tahun.
Meski berpindah-pindah tempat kerja, ia tetap bekerja di perusahaan yang lingkup usahanya furnitur. ”Di berbagai perusahaan itu saya dilatih disiplin, minat belajar pun tumbuh lagi,” katanya.
Dia lalu bertekad memiliki perusahaan furnitur. Usaha furnitur dirintisnya dan sedikit demi sedikit berkembang. Bahkan, perusahaannya juga menjadi salah satu pemasok perusahaan yang dahulu bosnya menganggap Dalyono tak bisa menggambar.
Suatu saat ia bertemu Ir Ciputra, pengusaha yang punya obsesi kewirausahaan sebagai kunci kemajuan bangsa. Ketika itu, Dalyono menjadi juara pemberdayaan masyarakat karena 25 pemuda yang dibinanya lewat usaha mebel Mataram Furnitur. Mereka adalah teman-teman di desanya, Kalimundu.
Awalnya agak sulit karena umumnya mereka tak berlatar belakang tukang kayu. Berkat usaha kerasnya, Dalyono pun terpilih sebagai pemuda pelopor tingkat nasional. Ia dinilai ikut serta memberdayakan masyarakat miskin.
Bupati Bantul (waktu itu) Idham Samawi lalu membiayai Dalyono untuk ikut kursus manajemen pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) lewat kerja sama dengan lembaga pendidikan Ciputra dan UGM. ”Saya belajar langsung bagaimana mengubah 'sampah' menjadi 'emas',” katanya.
Selepas kursus kewirausahaan di UGM, Dalyono mengembangkan inovasi produk. Akhir Mei 2006, ia menemukan inovasi mebel batik. Dengan itu, ia bisa mengikuti pameran sampai ke luar negeri.
Semua keberhasilan itu membuat Dalyono berpikir agar hidupnya juga bermanfaat bagi orang lain. Maka, selain mengusahakan mebel batik yang mempekerjakan 160 orang di berbagai kota sebagai pemasok mebelnya (antara lain Jepara, Temanggung, dan Sukoharjo), ia bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship di Jakarta mengusahakan lima lembaga kursus dan pelatihan.
Usaha itu kemudian berkembang lagi dengan satu lembaga keuangan mikro. Lembaganya pun mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 250 juta, selain bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Konsumsi ekspor
Kantornya menempati enam ruang SD Inpres yang ditutup karena tak ada murid. Sejak tiga tahun lalu Dalyono menyewa tempat itu Rp 200.000 per tahun. Ongkos sewa itu tahun depan bakal naik menjadi Rp 3,5 juta.
Ruang-ruang kelas diaturnya sedemikian rupa hingga layak menjadi kantor sampai ruang untuk membuat desain batik dengan sejumlah karyawan binaan mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Pembeli produk mebel batiknya umumnya orang asing. Ia memanfaatkan promosi dari mulut ke mulut lewat pemandu wisata. ”Saya punya beberapa teman tour guide. Mereka yang memperkenalkan produk saya kepada para tamu asing, selain lewat pameran,” kata Dalyono yang kerap mengikuti beberapa pameran di Jakarta.
Produk mebel batiknya diekspor ke sejumlah negara, seperti Perancis, Belanda, dan India. Setiap bulan ia mengekspor sekitar dua kontainer. Omzetnya per bulan sekitar Rp 700 juta.
Dengan mempekerjakan 20 orang di bengkelnya, Dalyono memberi upah Rp 25.000-Rp 30.000 per hari per pekerja. ”Itu bukan jumlah yang besar, tetapi yang penting bermanfaat bagi orang lain,” ucap Dalyono yang juga mengusahakan pernik-pernik, mulai dari alas kaki sampai gelang kayu yang hari itu diborong konsumen dari India.
Tak muluk-muluk menafsirkan konsep kewirausahaan, Dalyono berkeyakinan kewirausahaan bukan pengetahuan, tetapi praktik. ”Saya belajar, terus belajar sambil terus bekerja juga.”
Karena itulah, dia juga kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, selain belajar bahasa Mandarin, Inggris, dan Perancis lewat kursus.
Bagaimanapun ia senang karena adiknya, Purwanto (21), tak seperti dia. Selulus SMA sang adik bisa bekerja di perusahaan minyak di Riau. Ngadiman, sang ayah, pun bangga pada pencapaian Dalyono yang dianggapnya mampu ”mengangkat” keluarga.
Berkembangnya usaha mebel yang dia rintis membuat Dalyono semakin yakin bahwa jiwa kewirausahaan memang bisa dibentuk lewat pendidikan di sekolah. Namun, tambahnya, yang kemudian lebih berperan adalah pengalaman, kemauan seseorang berusaha keras, dan disiplin diri.
”Jiwa wirausaha itu terbentuk lewat kemauan keras untuk terus belajar dan senantiasa jeli melihat peluang,” ujar pria kelahiran 20 Juni 1980 yang telah membuktikan bahwa sebuah usaha bisa tercipta dengan kemauan belajar meski seseorang memulai semuanya dari nol: nol modal, nol relasi, nol pendidikan, dan nol keterampilan. (ST SULARTO)

Minggu, 09 Juni 2013

DEVELOPER MUDA BPK SUSWANTO



Hongkong 9 june 2013

Suswanto, Developer Muda Lulusan CEP
Hits : 3699
Rabu, 16 Maret 2011 08:38
Ide Dr. Ir. Ciputra untuk menyebarkan
entrepreneurship melalui berbagai macam
pelatihan untuk masyarakat luas berbuah
manis. Kini banyak bermunculan
entrepreneur-entrepreneur muda yang
menerjuni dunia usaha dengan berbekal
kemampuan dan pengetahuan
entrepreneurship yang mereka dapat dari
pelatihan.
Salah satu dari sejumlah peserta pelatihan
tersebut ialah Suswanto, seorang pemuda
asal Yogyakarta yang mendirikan usaha
perumahan, PT Total Prima Mandiri.
Perusahaan ini menangani proyek
perumahan yang membidik konsumen
kelas menengah atas. Salah satu
perumahan yang menjadi karya sang
entrepreneur muda yaitu perumahan Puri
Citra Indah di Kota Sleman, Yogyakarta.
Proyek pertamanya ini berskala kecil,
dengan jumlah 13 unit bertipe 85 di lahan
seluas 2.525 meter persegi.
Suswanto bukan seorang anak developer
terkemuka di tanah Air atau terlahir dalam
keluarga yang berkecukupan. Ia mengakui
mengalami masa kanak-kanak yang serba
kekurangan. Kedua orangtuanya tidak
memiliki pekerjaan tetap yang bisa
diandalkan sepanjang waktu.
Meski bergulat dengan keterbatasan
finansial, toh orangtuanya berhasil
membiayai sang anak menempuh dan
menyelesaikan pendidikan di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Di Juli 2009,
Suswanto berhasil menggenggam gelar
sarjana dari jurusan Teknik Mesin UGM.
Beberapa waktu sebelum waktu kelulusan
tiba, Suswanto merasa gelisah dengan apa
yang harus ia perbuat setelah
mendapatkan gelar akademik tersebut. Ia
dan orangtuanya tahu persis bagaimana
kondisi yang harus dihadapi oleh lulusan
sarjana di pasar tenaga kerja Indonesia
sekarang ini.
Saat tengah bimbang harus melakukan apa
untuk masa depannya, Suswanto
mendengar diadakannya Campus
Entrepreneurship Program (CEP) di tahun
2009 yang melibatkan UGM dan Ciputra
Foundation (UCEC). Hatinya tergerak untuk
mengikuti pelatihan selama penuh waktu 3
bulan namun terhalang masalah dana untuk
pembelian tiket test masuk. Suswanto
merasa keberatan untuk membeli tiket
seharga Rp 100.000 yang baginya terasa
sangat besar.
Untungnya, seorang sahabat berbaik hati
meminjamkannya uang yang diperlukan. Di
tes saringan untuk menjadi peserta
program, sementara temannya tidak lolos,
Suswanto berhasil masuk. Setelah itu,
bukan berarti ia sepenuhnya lega karena
masih harus membayar uang sebesar Rp 1
juta sebagai tanda komitmen peserta yang
pada akhir program seluruh uang tsb
digunakan untuk hadiah dalam lomba
business plan. Pertolongan datang kembali.
Kali ini seorang dosen meminjaminya uang.
Akhirnya Suswanto mampu membuktikan
kualitas dirinya dengan menjadi salah satu
lulusan angkatan pertama CEP. Sebanyak
27 orang lainnya juga turut menjadi bagian
angkatan pertama ini.
Selama di dalam masa latihan di CEP,
Suswanto mengaku menyerap berbagai
jenis pengetahuan tentang motivasi,
kreativitas, inovasi, pemasaran, dan
ketrampilan hidup yang berikan pengaruh
positif kepada sebanyak mungkin orang.
Suswanto yang kemudian turut menjadi
salah satu pelatih CEP sangat gembira jika
mampu memberikan lapangan pekerjaan
kepada orang lain. Dan yang tak kalah
penting adalah membanggakan kedua
orang tuanya yang telah mempertaruhkan
segalanya demi masa depannya.

Pelajaran yang bisa saya petik tadi yaitu
1. Buatlah ide bisnis dan pilihlah diantara ide" tersebut mana yg paling bagus dan hebat dengan kata lain bisa dilakukan dan mendapat profit yg besar
2. Modal bukan suatu halangan untuk memulai sebuah usaha. Jadi walau tidak punya modal uang kitapun bisa menjadi seorang entrepreneur dengan ide/gagasan yg luar biasa. Jika ide kita hebat modal akan datang pada kita.
3. Yakin dan percaya pada diri sendiribahwa kita bisa. Kalau kita tidak percaya pd diri sendiri bagaimana orang lain akan percaya pd kita.
4. Jangan menjual product yg tidak layak